Repotnya (hanya) Dua Tahun


Ini hanya karena saya merasa jengkel setiap kali lebaran selalu ditanya, kapan nambah momongan lagi, kurang anak ketiga cowok ini. What the hell it suppose to be? Untung yang tanya para tetua. Lha kalau orang lain, udah ku omelin sejauh Sabang Merauke bolak balik. Emosi sih bawaannya. Lha mereka sih enak ajah menyarankan, tanpa tahu bagaimana perjuangan saya untuk bisa mengurus bocah itu menjadi anak yang setidaknya mendekati seperti yang saya inginkan. Bukan berarti saya ingin memaksakan kehendak saya agar bocah seperti yang impian saya ya. Setidaknya saya bisa konsentrasi untuk membekali, membimbing untuk mengarahkan mereka dalam mengoptimalkan potensi hidup mereka. Seharusnya saya pun juga tidak perlu menggubris komentar tersebut. Toh mereka bukan orang yang setiap hari akan saya temui. Hahahha.. tapi saya tetep tidak bisa menolak rasa jengkel, sedih dan merasa bukan orang yang lengkap. Sial sekali bukan.. Pada akhirnya pula, saya kudu self defense sebagai sarana untuk menghibur diri sendiri. Lha mau mengharapkan dari orang lain? haaiiss.. kayak orang lain bisa diharapkan saja. Saya pun juga tidak lagi peduli jika ada ibu lain yang komentar, saya ajah anak 6 bisa handle kok. Itu urusan anda untuk urus keenam bocah itu. Tapi tidak dengan saya. Atau mungkin komen, baru anak dua saja sudah merasa jadi ibu paling sibuk sendiri. okee.. terserah kalian pada komen apa gitu.. ini saya cuma pengen menyampaikan hal-hal yang sedang relate dengan kondisi saya sekarang ini. That's all. No heart feeling, No debating. 
Sepertinya pula, kejadian ini sudah terjadi pada orang yang menganggap bahwa gender itu begitu penting menjadi bahan pembicaraan yang entah kapan selesainya. Saya pikir itu hanya ada pemikiran orang-orang yang low self empathy. Misalkan hal yang terjadi pada saya sekarang ini, sedang dialami oleh orang yang komen begitu. Baru tau rasa.. hihihi.. waduh kenapa ini jadi nge gas mode on yak?
Nah menurut saya, hidup untuk merawat bocah itu, ini konsep yang sudah saya diskusikan sebelum saya menikah dengan bapak bocah ya. Untungnya doi juga mengerti sih. Bahkan dulu pun saya juga menjelaskan misalnya kelak dalam perjalanan pernikahan ini, misalnya kita tidak berkahi bocah gitu. Lha kok ndilalah, yang kerennya dia malah memberi tanggapan solusi positf.. Alhamdulillaah.. MasyaAllooh.. emang yang namanya jodoh yaa, hahaha.. segalanya dimudahkan.. 
Makanya ketika sekarang orang lain pada sibuk komentar tentang bocah saya, saya hanya bisa mendoakan semoga saya sendiri bisa tetep stay cool. Sepanjang bapak bocah tidak protes, biarkan orang lain mau komentar.
 
Karena bagi saya itu : (syarat dan kondisi berlaku ya, belum tentu ibu-ibu lain kejadiannya begini)

1. Merawat bocah itu bagi saya perlu tenaga dan pikiran
Kebetulan saya lebih senang untuk tidak mendelegasikan pengasuhan pada orang lain kecuali dalam kondisi darurat. Jadi ketika bangun tidur, saya sudah memposisikan diri saya untuk today kids make journey. Saya sebisa mungkin ya kudu membersamai mereka dalam setiap momentnya. Kadang ya melupakan aktifitas rumahtangga lainnya. Kalau saya nggak konsentrasi, saya bisa stres lihat rumah yang udah mirip kapal pecah. Oleh karena itu, kadang tak usah perdulikan rumah berantakan ataupun kita jadinya makan di luar. It is important to makes happy kids.
 
2. Saya tidak punya support system yang ideal
Iyaa.. kalau ibu lain, enteng aja handle selusin bocah di rumah. Okeee.. mereka punya punya asisten rumah tangga sendiri. Semisal itu Nia ramadhani yang asistennya ada 15, yaa gapapa.. bebas lah, mau anak berapapun. Nambah bocah demi mendapatkan gender tertentu. Bebaaass... 
lhaaa saya, impian mencapai finansial freedom, lalu masih kudu mikir bocah yang lagi belajar mencari perhatian. Saya tinggal di perantauan yang tidak ada asisten. Nenek bocah saja juga udah sibuk. Mau dititipin cara bagaimana. Ibu saya juga selalu mengulangi nasehat, Hidup kami ya cuma berempat. Tak mungkin saya sanggup untuk multitasking lagi. Adeknya Dinda itu, begitu sensitif perasaannya dan perfectionist. Saya kudu fokus untuk menjelaskan padanya bahwa nanti siapa tau dia mau sekolah di tempat formal, perlu dijelaskan bila suatu saat ada anak lain yang tidak sesuai dengan harapannya, jangan menangis. Dia sebenarnya mungkin tidak cengeng. Cuma memang tidak bisa menjelaskan perasaannya itu. Menangis merupakan sarana ampuh untuk berkomunikasi. Haaiiss.. memang buah jatuh tak bisa jauh dari pohonnya. it's time bapak bocah says, "Turunannya siapa tuuu?"

3. Saya bukan tipe ibu yang suka anak kecil
Ini looh.. si kecil udah mau empat tahun, udah bisa nambah satu lagi, siapa tau dapat cowok. bocah itu repotnya cuma pada dua tahun pertama kok.. hahahaa.. oookkkee... sakkarepmuu.. bukan situ yang sibuk begadang kalau bocah lagi sakit. bukan situ yang repot kalo mereka lagi rebutan mainan. bukan situ kan, yang memberikan penjelasan saat mereka tantrum karena bapak bocah mau kerja. bukan anda yang sibuk ketika masing bocah meminta dibuatkan makanan favorit masing-masing. bagi saya, setiap tahapan perkembangan mereka ada tantangan tersendiri. Oh my goodness, dua orang bocah saya sudah membuat saya gila. 
 
Ada quote yang sepertinya relate dengan kejadian ini. so, with every act of self-care your personality gets stronger and the critical, those fearful mind gets weaker. every act of self-care is powerful declaration : this is me 


picture taken from pixabay

Komentar

Posting Komentar