The Books 2



Kan memang sudah berencana untuk update blog, minimal setiap 2 minggu sekali posting 1 tulisan. Ini mau membuat alasan kenapa baru muncul di hari ini. Hahaha.. yaa namanya manusia, tetep saja ada saja alasannya.
Kemarin ini sibuk membaca buku. Yang pinjam di digital library, saya baca Cinta itu Luka, karya keren dari Eka Kurniawan, pemenang World Readers' Award 2016. Tuntas lho, sampai 500 halaman lebih.. Pokoknya sampai mata perih melolotin hape. Lha bagaimana tidak, tanggung kalau tidak selesai. Cerita yang mengalir, membuat penasaran hingga akhir.
Berbeda dengan cara saya membaca sebelumnya, kali ini, saya membaca seperti orang yang sedang membaca teks book pelajaran sastra. Memulai membaca bukan sebagai pengisi waktu luang, namun untuk mempelajari sesuatu, memperoleh wawasan menulis yang baru dan siapa tahu, teknik ini bisa menginspirasi ketika nanti saya membuat tulisan. Saya jadi mengingat ketika teman sekost saya dulu, sedang skripsi tentang telaah sastra dalam sebuah novel karya Remi Silado. Berasa pengen kuliah lagi.
Ketika saya membaca ini, saya membayangkan beberapa pertanyaan, antara lain tentang berapa lama si mas Eka ini riset. Tidak mungkin kan beliau tidak riset dengan data yang semua orang di Indonesia nyaris mengalaminya semua. Kalaupun itu anak-anak generasi x, y, z, pastinya kita yang sekolah dengan pendidikan di Indonesia, pastinya membaca buku pelajaran sejarah di sekolah. Ataupun malah bisa jadi mendapat cerita dari kakek nenek secara langsung. Bisa lebih keren lagi, bagi yang masih punya kakek nenek yang menjadi saksi sejarah, masih sehat sampai sekarang ini. Jadi pastinya, si mas Eka harus menyelaraskan data sejarah dengan konsep fiksi yang ditulisnya. Itu butuh kejeniusan tingkat tinggi. Kan si mas pengarang lahir sekitar tahun 70-an akhir. Jadi pastinya butuh sumber data primer dan sekunder, secara metodologi penelitiannya. Beda tipis dengan saya yang lahir 80-an awal. eehh.. siapa yang tanya yaa..
Lalu setelah itu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana menemukan ide cerita. Dengan sekian ratus halaman itu, pastinya membutuhkan pendalaman materi agar visi misi cerita dapat tercapai. Bagi saya yang masih pemula ini, rasanya masih butuh latihan yang lebih keras lagi untuk bisa membuat cerita dengan durasi lama seperti itu. Membuat cerpen 4 halaman saja, saya sudah ngos-ngos an.. hahaha.. Mungkin dengan latar belakang sejarah seperti itu, saya jadi membayangkan buku Rahasia Salinem karya Brilliant Yotenaga dan Wisnu Suryaning Adji. Bukan untuk mengomparasikan. Dari jalinan cerita dan latar belakang sudah berbeda. Masing-masing punya sisi yang ditampilkan lebih utama.  Namun yang saya pelajari, untuk membuat novel sejarah itu, membutuhkan persiapan yang lebih rinci untuk mengemukakan fakta sejarah tidak hanya sebagai settingan cerita. Namun juga mempengaruhi opini pembaca. Apalagi bagi pembaca yang belum pernah tahu tentang sejarah Indonesia pada umumnya. Betapa untuk menulis yang benar itu memang dibutuhkan kecakapan dan konsistensi yang luar biasa. Menerjemahkan gambaran dalam rangkaian kata-kata. Jadi pembaca tak perlu merasakan secara visual. Namun dengan rangkaian kata itu, bisa membuat pembaca mengerti apa yang dirasakan si tokoh cerita tersebut. Showing, not to tell. Biasanya kalau dalam forum bedah buku, akan dijawab begitu oleh si penulis. Sepertinya saya jadi makin suka membaca dengan gaya skripsi seperti ini. Berasa membaca itu tak hanya menikmati cerita yang ditulis, namun juga belajar dari gaya masing-masing mengarang. Siapa tahu, nanti saya bisa meresensi pula dengan baik. Nanti saya akan mulai membaca novel penulis lain dengan latar belakang sejarah.

picture taken from pixabay

Komentar